Oleh : Machfud Herman S
Peran konselor/guru bimbingan dan konseling sering di reduksi di sekolah. BK ditempatkan dalam konteks disipliner siswa: memanggil, memarahi, menghukum adalah proses klasik label bimbingan konseling di banyak sekolah sehingga guru bimbingan dan konseling sering diposisikan sebagai “musuh” bagi siswa bermasalah atau yg nakal.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mengharuskan sekolah untuk mengalokasikan 2 (dua) jam pelajaran per minggu bagi pelajaran pengembangan diri. Hal ini berati di setiap sekolah paling tidak harus dialokasikan 2 jam pelajaran bagi guru Bimbingan Konseling untuk mengadakan bimbingan secara klasikal. Namun dalam praktiknya, beberapa sekolah bahkan meniadakan jam khusus untuk layanan bimbingan klasikal kepada siswa. Layanan bimbingan klasikal biasanya dilakukan apabila ada guru yang berhalangan hadir dan jam pelajaran ini dimanfaatkan bagi guru Bimbingan Konseling untuk mengadakan layanan bimbingan kelompok/klasikal.
Kebijakan meniadakan jam bimbingan kelompok/klasikal ini mengakibatkan fungsi pengembangan kemampuan siswa, fungsi pencegahan dan fungsi pemeliharaan bimbingan dan konseling dalam aspek perkembangan personal edukasional dan karir tidak dapat dijalankan secara utuh. Ketidak mengertian dan prasangka manajemen sekolah bahwa bimbingan dan konseling hanya membuang-buang waktu dan tidak memberikan sumbangan yang berarti pada perkembangan siswa menyebabkan sulitnya mendapatkan dukungan sekolah terdadap program bimbingan dan konseling.Bimbingan konseling baru dilirik sebelah mata dalam proses pendidikan tampak dari ruangan yang disediakan. Bisa dihitung dengan jari, berapa jumlah sekolah yang mampu (baca: mau!) menyediakan ruang konseling memadai. Tidak jarang dijumpai, ruang bimbingan konseling sekadar bagian dari perpustakaan (yang disekat tirai), atau ruang sempit di pojok dekat gudang dan toilet
Tantangan utama bimbingan konseling justru datang dari faktorinstrinsik sekolah sendiri. Kepala sekolah kurang tahu apa yang harus mereka perbuat dengan guru-guru bimbingan konseling. Ada kekhawatiran konselor memakan “gaji buta”. Akibatnya, mesti disampiri tugas mengajar keterampilan, sejarah, jaga kantin, mengurus koprasi, perpustakaan, atau honor atau penggajiannya terus dipersoalkan jumlahnya. Sesama staf pengajar pun mengirikannya dengan tugas yang dianggapnya penganggur terselubung.
2. Rekonseptualisasi Bimbingan Konseling
Kondisi penyelenggaraan bimbingan dan konseling yang dilaksanakan di sekolah menunjukkan adanya ketidakpastian dan keprihatinan bimbimbingan dan penyuluhan di sekolah. Perubahan dan perkembangan masyarakat mengisyaratkan seluruh warganya untuk melakukan penyesuaian. Baik sebagai individu ataupun kelompok tuntutan adaptasi dan akomodasi tidak terelakkan. Sebagai individu, konselor yang juga sebagai warga masyarakat tidak dapat menghindari tuntutan tersebut. Penyesuaian dilakukan bukan saja terhadap tuntutan perubahan dan perkembangan, tetapi juga kebutuhan untuk berubah dalam menjalankan tugas profesianya.
Sebagai sesuah profesi yang dinamis, selalu menyesuaikan terhadap perkembangan dan perubahan masyarakat, profesi bimbingan dan konseling telah mengalami perubahan paradigma. Perubahan bisa dilihat dalam tiga aras waktu, yaitu paradigma masa lalu, paradigma sekarang, dan paradigma untuk yang akan dating. Pada masa lalu paradigma pelayanan bimbingan dan konseling hanya menfokuskan pada tiga hal yaitu konseling, konsultasi, dan koordinasi; untuk masa sekarang konseling, konsultasi, koordinasi, kepemimpinan, advokasi, bekerja secara tim dan berkolaborasi, memanfaatkan asesmen dan penggunaan data, serta pemanfaatan teknologi; sedangkan paradigma pelayanan untuk masa yang akan datang mulai dari pemberian layanan konseling, konsultasi, koordinasi, kepemimpinan, advokasi, bekerja secara tim dan berkolaborasi, memanfaatkan asesmen dan penggunaan data, pemanfaatan teknologi, pertanggung jawaban, mediasi kultural, serta agen perubahan yang sistemik. Paradigma tentang kegiatan bimbingan dan konseling tersebut akan dirasakan manfaatnya jika peran dari konselor dapat dilaksanakan dengan baik, yang meliputi peran sebagai konselor, sebagai konsultan, sebagai agen perubahan, seorang agen pencegahan utama (a primary prevention agent), dan sebagai manajer
Profesi bimbingan dan konseling telah berusaha menjawab beragam perubahan masyarakat, perkembangan ilmu dan teknologi dengan berbagai perubahan dan perkembangan dalam diri profesi, yang dapat dipahami dari perkembangan profesi ini di Indonesia. Dimulai dengan dilakukannya uji coba pelaksanaan kegiatan bimbingan di sekolah, dibukanya program studi bimbingan, kelahiran organisasi profesi (17 Desember 1975), pelaksanaan kurikulum 1975, pengakuan guru pembimbing, perubahan penggunaan istilah “penyuluhan” menjadi “konseling”, perubahan nama organisasi dari Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) menjadi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) tahun 2001, dan penegasan nama profesi, nama asosiasi profesi, tenaga professional yang melaksanakan layanan, individu yang mendapatkan layanan, dan seterusnya (2007). Ini semua menunjukkan usaha profesi agar tetap eksis dalam aliran kehidupan masyarakat Indonesia.
Konseling merupakan hubungan yang bersifat terbatas antara konselor dan konseli yang dapat dilakukan dengan siswa secara individu ataupun kelompok kecil untuk membantu siswa mengatasi masalah dan mengembangkan semua potensinya. Dari pengertian ini dapat diketahui bahwa tujuan pertama konseling adalah untuk membantu konseli mengatasi masalah. Tujuan utama tersebut sebenarnya sudah mengisyaratkan seorang konselor harus selalu melakukan pengaturan atau penyesuaian diri terhadap konseli yang dihadapinya agar dapat mencapai tujuan kegiatan konseling yang dilaksanakannya secara efektif. Konseli yang dihadapi bukanlah seorang yang selalu sama pribadi dan sifat-sifatnya, oleh karena itu seorang konselor harus pandai-pandai menjalankan peran dan fungsi dengan sebaik-baiknya. Ada konseli yang pendiam sehingga mengharuskan seorang konselor untuk aktif, sebaliknya ada seorang konseli yang fasih dan ringan tanpa beban dapat menceriterakan masalahnya kepada konselor. Dengan kata lain, konselor dituntut untuk dapat menunjukkan kemampuan untuk memilih teknik konseling yang akan dipergunakan secara efektif dan efisien.
Pengembangan kepribadian konseli menuntut kepiawaian konselor untuk berperan sesuai dengan ciri kepribadian konseli. Stimulasi agar pribadi dapat “mekar” mensyaratkan berbagai ketrampilan untuk memainkan peranan yang senantiasa berganti-ganti dalam rangka menciptakan dan memberikan lingkungan yang favourable demi terciptanya perubahan yang positif pada diri konseli. Ini adalah tantangan rutin dari tugas seorang konselor sejak dahulu sampai sekarang dan masa yang akan datang. Sedangkan kegiatan konsultasi dan koordinasi merupakan kegiatan pendukung dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai bagaian dari sistem sekolah.
Kemudian pada saat sekarang layanan bimbingan dan konseling telah mengalami transformasi, dengan visi baru yang bersifat proactive practice. Bentuk layanan yang diberikan tidak meninggalkan sama sekali bentuk-bentuk layanan yang sudah berjalan. Layanan bimbingan dan konseling yang perlu diberikan dalam bentuk: konseling, konsultasi, koordinasi, kepemimpinan, advokasi, bekerja secara tim dan berkolaborasi, memanfaatkan asesmen dan penggunaan data, serta pemanfaatan teknologi. Perubahan dan perkembangan layanan ini seagai bentuk kegiatan layanan yang bersifat proaktif menghadapi dinamika perubahan masyarakat dan para pemangku kepentingan (stakeholder).
3. Inovasi Bimbingan Konseling
Agar bimbingan dan konseling di sekolah dapat berjalan dengan efektif dan dapat diandalkan oleh siswa, maka semua yang terlibat dalam bimbingan dan konseling harus mampu menghadapi semua tantangan baik yang berasal dari perubahan global, nasional, maupun lokal pada gilirannya menuntut adanya inovasi bimbingan dan konseling dalam berbagai aspek dan dimensi..Saat ini telah banyak berkembang berbagai inovasi bimbingan dan konseling dalam teori, pendekatan, manajemen, pola-pola pelaksanaan, penelitian dan pengembangan, personil, dsb. Berikut ini akan dikemukakan beberapa di antaranya ( Mohammad Surya, 2008)
a. T eknologi dalam bimbingan konseling
Perkembangan teknologi terutama dalam bidang informasi dan komunikasi telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi dunia bimbingan dan konseling. Komunikasi untuk bimbingan dan konseling dilakukan dengan menggunakan media-media komunikasi seperti telepon, komputer, internet, e-mail, dsb. Interaksi antara konselor dengan konseli tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi juga dilakukan dengan menggunakan media-media tersebut. Konselor dapat memberikan layanan tanpa harus berhadapan langsung dengan konseli. Demikian pula konseli dapat memperoleh informasi dalam lingkup yang luas dari berbagai sumber melalui cyber space atau ruang maya dengan menggunakan komputer atau internet. Hal yang paling mutakhir adalah berkembangnya apa yang disebut “cyber counseling” atau konseling maya, yaitu proses konseling yang dilakukan dengan menggunakan internet. Dalam bidang bimbingan karir, telah berkembang publikasi bimbingan dan informasi karir dengan menggunakan cyber publishing yaitu publikasi melalui internet dan teknologi informasi lainnya yang bukan dalam bentuk media cetak. Perkembangan ini sudah tentu menuntut kesiapan dan adaptasi para konselor dalam penguasaan teknologi dalam melaksanakan bimbingan dan konseling. Hal yang sama diperlukan pula oleh para konselor dalam menggunakan teknologi untuk bimbingan karir.
b. Bimbingan dan Konseling Multikultural
Penggunaan berbagai pendekatan dan teknik diharapkan mampu memberikan layanan yang lebih efektif dalam kondisi pluralitas budaya. Dalam kaitan dengan bimbingan dan konseling pendekatan budaya ini sangat tepat untuk lingkungan yang berbudaya plural seperti Amerika Serikat dan juga di Indonesia. Bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan landasan semangat Bhineka Tunggal Ika, yaitu kesamaan di atas keragaman. Di Amerika Serikat yang berbudaya pluralistik, dikembangkan pendekatan konseling yang disebut “multicultural counseling”. Paul B. Pederson (1991) menyebutkan “multicultural counseling” sebagai pendekatan generik dalam konseling. Pederson mengelompokkan multicultural counseling ke dalam angkatan keempat dalam pendekatan konseling sebagai pelengkap dari ketiga angkatan pendekatan sebelumnya yaitu psychodynamic, behavioral, dan humanistic. Dikatakan selanjutnya bahwa sebutan multikultural mempunyai implikasi dalam rentang kelompok yang ganda (multiple) tanpa harus membuat derajat, bandingan, atau peringkat atau sebutan lebih baik atau lebih jelek antara satu dengan lainnya, serta tanpa mengabaikan adanya kenyataan saling melengkapi, dan perbedaan bahkan pertentangan satu dengan lainnya. Perspektif pendekatan multikultural memberikan kombinasi antara pandangan universalisme dan relativisme dengan memberikan penjelasan bahwa perilaku dipelajari dalam perspektif secara kultural yang unik, dan mencari kesamaan landasan antar budaya.
c. Bimbingan konseling multikultural
Kehidupan modern dengan kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan ekonomi yang dialami oleh bangsa-bangsa Barat ternyata telah menimbulkan berbagai suasana kehidupan yang tidak memberikan kebahagiaan batiniah dan berkembangnya rasa kehampaan. Mereka menyadari bahwa kemajuan itu telah memisahkan nilai-nilai spiritual sebagai sumber kebahagiaan hidup dan dirasakan oleh mereka sebagai satu kekurangan. Dewasa ini berkembang kecenderungan untuk menata kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai spiritual. Mereka makin menyadari bahwa suasana keluarga yang harmonis di atas landasan nilai-nilai religi yang kuat pada dasarnya merupakan situasi yang kondusif bagi terciptanya kehidupan. Suasana seperti itu akan menumbuhkan kualitas manusia agamis yang memiliki ketahanan dan keberdayaan yang mantap
d. Pendekatan Holistik
Bersamaan dengan perkembangan global yang mendorong makin besarnya ketergantungan antar berbagai disiplin dan pihak, maka konseling mengalami kecenderungan untuk bergeser dari situasi isolasi atau soliter ke arah keterkaitan dengan berbagai aspek. Konseling holistik merupakan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai aspek dan dimensi dalam prosesnya. Dengan demikian maka konseling tidak hanya menyentuh aspek permukaan saja akan tetapi lebih menyeluruh dan utuh sehingga penyelesaian suatu masalah dapat dilakukan secara lebih komprehensif sehingga dapat diselesaikan secara tuntas dan mendasar. Pola konseling holistik mempunyai makna bahwa layanan yang diberikan merupakan suatu keutuhan dalam berbagai dimensi yang terkait. Dalam kaitan dengan lingkungan pendidikan, konseling dilaksanakan secara terpadu mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan di masyarakat luas. Strategi yang diterapkan merupakan keutuhan yang terpadu antara strategi kurikuler, interaksi, pengembangan pribadi, dan dukungan sistem. Bidang-bidang layanan yang diberikan meliputi aspek sosial, pribadi, belajar, karir, dan budi pekerti dalam satu kesatuan yang utuh. Saat ini telah berkembang apa yang disebut ”quantum counseling” atau konseling kuantum yang berpangkal pada teori kuantum, dalam fisika. Dalam ivovasi ini, bimbingan dan konseling dilaksanakan secara holistik dalam suasana menyenangkan dengan lebih berfokus pada aspek-aspek pribadi yang paling mendalam yaitu pikiran dan perasaan.
Daftar Pustaka
Akhmad Sudrajat, Rekonseptualisasi Bimbingan dan Konseling, http://www.akhmadsudrajat .wordpress.com/2008/01/21/konsep-bimbingan-dan-konseling/
Muhammad Nur Wangid, Konselor Menjawab Dinamika Jaman, http://www.konselingindonesia.com/download
Muhammad Surya, Inovasi Bimbingan dan Konseling Menjawab Tantangan Global, http://www.konselingindonesia.com/download
Slameto, Dr, Bahan Kuliah Bimbingan dan Konseling, Program Magister Manajemen Pendidikan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2010
0 komentar:
Posting Komentar