Sabtu, 05 Juni 2010

Manajemen Bimbingan Konseling


Oleh: Machfud Herman S
 Bimbingan adalah proses pemberian bantuan (process of helping) kepada individu agar mampu memahami dan menerima diri dan lingkungannya, mengarahkan diri, dan menyesuaikan diri secara positif dan konstruktif terhadap tuntutan norma kehidupan ( agama dan budaya) sehingga mencapai kehidupan yang bermakna (berbahagia, baik secara personal maupun sosial), sedangkan konseling adalah proses interaksi antara konselor dengan klien/konselee baik secara langsung (tatap muka) atau tidak langsung (melalui media : internet, atau telepon) dalam rangka membantu klien agar dapat mengembangkan potensi dirinya atau memecahkan masalah yang dialaminya (Slameto, 2010).
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mengharuskan sekolah untuk mengalokasikan 2 (dua) jam pelajaran per minggu bagi pelajaran pengembangan diri. Hal ini berati di setiap sekolah paling tidak harus dialokasikan 2 jam pelajaran bagi guru Bimbingan Konseling untuk mengadakan bimbingan secara klasikal. Namun dalam praktiknya, beberapa sekolah bahkan meniadakan jam khusus untuk layanan bimbingan klasikal kepada siswa. Layanan bimbingan klasikal biasanya dilakukan apabila ada guru yang berhalangan hadir dan jam pelajaran ini dimanfaatkan bagi guru Bimbingan Konseling untuk mengadakan layanan bimbingan kelompok/klasikal.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa manajemen sekolah belum memberikan tempat yang memadai bagi layanan bimbingan di sekolah. Beberapa hal yang diduga menyadi penyebab atau melatar belakangi kebijakan sekolah tersebut antara lain: (Fajar Santohadi, 2006)
1.    Sekolah masih menfokuskan pada pengembangan kompetensi akademis atau kognitif saja. Apalagi dengan adanya Ujian Nasional, maka siswa-siswa di tingkat akhir lebih difokuskan untuk mata pelajaran yang di-Ujian Nasional-kan.
2.    Penentu kebijakan (manajemen sekolah) memahami Bimbingan Konseling hanya sebagai pertemuan individual saja (konseling) terutama untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh siswa (fungsi kuratif).
3.    Tidak adanya program Bimbingan Konseling yang berkualitas yang sesuai dengan kebutuhan membuat siswa, pengelola sekolah dan stakeholder sulit memberikan kepercayaan pada Bimbingan Konseling. Pengelola atau guru bimbingan konseling selama ini masih menganggap bahwa program bimbingan konseling merupakan daftar aktifitas yang mengacu pada pola 17 tetapi tidak menonjolkan isi yang akan digarap untuk mengembangkan aspek afektif, nilai, sikap dan prilaku positif siswa.Padahal pola 17 yang sering menjadi program konselur itu hanya merupakan ‘bungkus’ bukan isi.
Kebijakan meniadakan jam bimbingan kelompok/klasikal ini mengakibatkan fungsi pengembangan kemampuan siswa, fungsi pencegahan dan fungsi pemeliharaan bimbingan dan konseling dalam aspek perkembangan personal edukasional dan karir tidak dapat dijalankan secara utuh. Ketidak mengertian dan prasangka manajemen sekolah bahwa bimbingan dan konseling hanya membuang-buang waktu dan tidak memberikan sumbangan yang berarti pada perkembangan siswa menyebabkan sulitnya mendapatkan dukungan sekolah terdadap program bimbingan dan konseling.
 tulisan lengkap

Menurut Akhmad Sudrajat (2008) bahwa dimasa mendatang Bimbingan dan Konseling di Indonesia tidak lagi bersandar pada Konsep Pola 17 yang selama ini digunakan dalam praktik bimbingan dan konseling di sekolah, tetapi justru akan lebih mengembangkan model bimbingan dan konseling yang komprehensif dan berorientasi pada perkembangan, yang didalamnya terdiri dari empat komponen utama program bimbingan dan konseling, yaitu :
1.    Layanan Dasar; yakni layanan bantuan kepada peserta didik melalui kegiatan-kegiatan kelas atau di luar kelas, yang disajikan secara sistematis, dalam rangka membantu peserta didik untuk dapat mengembangkan potensi dirinya secara optimal. Tujuan layanan ini adalah untuk membantu peserta didik agar memperoleh perkembangan yang normal, memiliki mental yang sehat, memperoleh keterampilan hidup, yang dapat dilakukan melalui strategi layanan klasikal dan strategi layanan kelompok.
2.    Layanan Responsif; yaitu layanan bantuan bagi peserta yang memiliki kebutuhan atau masalah yang memerlukan bantuan dengan segera”. Tujuan layanan ini adalah membantu peserta didik agar dapat mengatasi masalah yang dialaminya yang dapat dilakukan melalui strategi layanan konsultasi, konseling individual, konseling kelompok, referal dan bimbingan teman sebaya.
3.    Layanan Perencanaan Individual; yaitu bantuan kepada peserta didik agar mampu membuat dan melaksanakan perencanaan masa depannya, berdasarkan pemahaman akan kekuatan dan kelemahannya. Tujuan layanan ini adalah agar peserta didik dapat memiliki kemampuan untuk merumuskan tujuan, merencanakan, atau mengelola pengembangan dirinya, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karier, dapat melakukan kegiatan atau aktivitas berdasarkan tujuan atau perencanaan yang telah ditetapkan, dan mengevaluasi kegiatan yang dilakukannya, yang dapat dilakukan melalui strategi penilaian individual, penasihatan individual atau kelompok.
4.    Layanan dukungan sistem; yaitu kegiatan-kegiatan manajemen yang bertujuan memantapkan, memelihara, dan meningkatkan program bimbingan dan konseling di sekolah secara menyeluruh melalui pengembangan profesional; hubungan masyarakat dan staf; konsultasi dengan guru lain, staf ahli, dan masyarakat yang lebih luas; manajemen program; dan penelitian dan pengembangan.
Perubahan paradigma dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa profesi bimbingan dan konseling bersifat dinamis. Dinamika di dalam melaksanakan tugas merupakan manifestasi kompetensi dan profesionalisme dari seorang konselor. Kemampuan mensiasati dan memilih stetegi yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan perkembangan akan menjadi amunisi yang ampuh untuk mampu menghadapi berbagai dinamika dan perubahan yang dihadapi. Untuk itu, pemahaman mengenai beberapa peran guru bimbingan dan konseling (konselor) perlu diperhatikan dengan baik.
Barruth dan Robinson dalam  Muhammda Nur Wangid  (2009) menjelaskan beberapa peran yang lazim dilakukan oleh seorang konselor:
1.    Konselor sebagai seorang konselor
Pemaknaan konseling sebagai suatu layanan bagi siapapun juga yang mencari bantuan dari seseorang  yang terlatih secara professional (konselor), dan layanan yang diberikan bisa secara individu atau kelompok dengan cara mengarahkan konseli untuk memahami dan menghadapi situasi kehidupan nyata sehingga bisa membuat suatu keputusan berdasarkan pemahaman tersebut untuk kebahagiaan hidupnya adalah peranan kunci bagi konselor professional di semua seting layanan. Fokus konseling dalam pengertian tradisional ini bermakna membantu individu atau sekelompok individu untuk (a) mencapai tujuan-tujuan intrapersonal dan interpersonal, (b)  mengatasi kekurangan-kekurangan pribadi  dan kesulitan-kesulitan perkembangan, (c) membuat keputusan, dan membuat perencanaan untuk perubahan dan perkembangan, (d) meningkatkan kesehatan fisik maupun mental dan kebahagian mencapai kebahagiaan secara kolektif. Peran tersebut mengimplikasikan perlunya keahlian dalam pertumbuhan dan perkembangan manusia, ketrampilan interpersonal, ketrampilan pembuatan keputusan dan pemecahaman masalah, ketrampilan social, intervensi krisis perkembangan, orientasi teoritis untuk membantu. Untuk itu fungsi yang dilakukan antara lain melakukan wawancara, penilaian, evaluasi, diagnosis.
2.    Konselor sebagai seorang konsultan
Konselor yang efektif  akan membangun atau memiliki jalinan kerja sama dengan berbagai pihak demi kepentingan konseli, sehingga peran yang dilakukan tidak hanya terbatas pada “konselor sebagai konselor” saja. Apalagi dalam masa keterbukaan sekarang ini peran “konselor sebagai konsultan” menjadi tuntutan yang harus dipenuhi. Konselor diharapkan dapat bekerja sama dengan berbagai pihak lain yang dapat mempengaruhi diri konseli seperti kepala sekolah, orang tua, guru, dan sebagainya yang mempengaruhi kehidupan konseli.
3.    Konselor sebagai agen perubahan
Peran yang hampir serupa dengan peran sebagai konsultan adalah peran sebagai agen perubahan. Peran sebagai agen perbahan bermakna bahwa keseluruhan lingkungan dari konseli harus dapat berfungsi sehingga dapat mempengaruhi kesehatan mental menjadi lebih baik, dan konselor dapat mempengunakan lingkungan tersebut untuk memperkuat atau mempertinggi berfungsinya konseli.  Dalam hubungan ini maka perlu keahlian pemahaman tentang sistem lingkungan dan sosial, dan mengembangkan ketrampilan tersebut untuk merencanakan dan menerapkan perubahan dalam lembaga, masyarakat, atau  sistem.  Fungsi yang berkaitan dengan peran ini antara lain analisis sistem, testing dan evaluasi, perencaaan program,  perlindungan konseli (client advocacy), networking, dan sebagainya.
4.    Konselor sebagai seorang agen pencegahan utama
Peranan yang ditekankan di sini adalah sebagai agen untuk mencegah perkembangan yang salah dan atau mengulang kembali kesulitan. Penekanan dilakukan terutama dengan memberikan strategi dan pelatihan pendidikan sebagai cara untuk memperoleh atau meningkatkan ketrampilan interpersonal. Untuk itu konselor perlu antara lain pemahaman dan keahlian tentang dinamika kelompok, normal human development, psikologi belajar, teknologi pembelajaran dan sebagainya. Fungsi konselor dalam hal ini misalnya keterlibatan konselor dalam merancang kurikulum.
5.    Konselor sebagai manajer
Konselor selalu memiliki sisi peran selaku administrator. Sehubungan dengan itu konselor harus sanggup menangani berbagai segi program pelayanan yang memiliki ragam variasi pengharapan dan peran seperti telah dikemukakan di atas.  Untuk itu perlu keahlian dalam perencanaan program, penilaian kebutuhan, strategi evaluasi program, penetapan tujuan, pembiayaan, dan pembuatan keputusan. Oleh karena itu beberapa fungsi konselor yang terkait dengan hal tersebut adalah menjadwalkan kegiatan, melakukan testing, penelitian, melakukan penilaian kebutuhan, sampai dengan menata file data.
Berbagai peran yang ditanggung atau disandang seorang konselor dapat menjadi sesuatu yang berakibat konstruktif atau sebaliknya negatif.  Berakibat negatif jika peran yang seharusnya dilakukan oleh konselor dipandang sebagai beban, sehingga justru menurunkan kinerja dan penghargaan dari pihak lain. Bermakna konstruktif apabila konselor dapat melaksanakan peran-peran tersebut secara tepat sesuai dengan kebutuhan dan konteks sehingga menjadikan kinerjanya semakin efektif  baik dalam arti prestasi sesuai keinginan (artinya antara keinginan awal dengan hasil yang diperoleh sesuai) ataupun dalam persepsi pihak lain. Dari perspektif ini berarti kemampuan konselor untuk mengatur perannya menjadi sangat penting.
Program bimbingan dan konseling yang komprehensif membutuhkan kebijakan di sekolah yang integratif yaitu adanya keselarasan antara kebijakan dalam bidang pengajaran, bimbingan, kegiatan ekstra kurikuler, kebijakan keuangan, sarana dan prasarana, personalian dan lain lain. Program bmbingan dan konseling yang komprehensif membutuhkan dukungan manajemen sekolah yang adil dan setara sehingga sekolah memberikan perhatian yang memadai dan setara terhadap semua unsur yang penting bagi jalanya proses pendidikan. Dukungan finansial yang memadai, fasilitas yang memadai dan pemberian waktu yang memadai untuk bimbingan, pengajaran dan kegiatan pendidikan lain di sekolah adalah bukti kebijakan yang integratif di sebuah lembaga pendidikan.





Daftar Pustaka:

Akhmad Sudrajat, Rekonseptualisasi Bimbingan dan Konseling, http://www.akhmadsudrajat wordpress.com/2008/01/21/konsep-bimbingan-dan-konseling/
Fajar Santohadi. Profil Bimbingan Konseling di Sekolah, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2006
Muhammad Nur Wangid, Konselor Menjawab Dinamika Jaman, http://www.konselingindonesia.com/download
Muhammad Surya, Inovasi Bimbingan dan Konseling Menjawab Tantangan Global, http://www.konselingindonesia.com/download
Slameto, Dr, Bahan Kuliah Bimbingan dan Konseling, Program Magister Manajemen Pendidikan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2010


1 komentar:

Anonim mengatakan...

thank's

Posting Komentar

Herman Emha Blog's © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute