oleh : Khalid Mustafa ( Biro Perencanaan Kementerian Pendidikan Nasional)
Berbicara mengenai Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang pendidikan bagi kepala SD dan SLTP, terkadang melahirkan beberapa perasaan, yaitu senang, bahagia, khawatir, bahkan takut.
Mengapa 2 perasaan yang amat bertentangan ini dapat berkumpul menjadi satu ? Karena bagi sebagian kepala sekolah, DAK adalah anugerah namun juga bisa berubah menjadi musibah.
DAK bidang pendidikan, yang fungsinya menurut aturan pemerintah bertujuan untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana satuan pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun di beberapa daerah menjadi ladang pemasukan atau bahkan menjadi “ATM” pihak-pihak tertentu.
Jumlah bantuan yang bernilai ratusan juta, dan secara nasional berjumlah 9 (sembilan) triliun, merupakan godaan yang amat besar bagi mereka yang berkecimpung di dalamnya.
Yang menjadi permasalahan, DAK ini disalurkan dari pusat ke daerah dengan tujuan akhir ke satuan pendidikan, yaitu sekolah. Kepala Sekolah sebagai penanggung jawab administratif tertinggi pada satuan pendidikan tersebut merupakan penanggung jawab terakhir penggunaan DAK. Namun, karena posisi mereka yang paling terakhir inilah yang terkadang melahirkan “musibah” bagi mereka. Karena oleh pihak-pihak tertentu yang sebagian besar di atas mereka, DAK dipermainkan sekehendak hati dengan tanggung jawab penuh berada di pundak kepala sekolah.
Hal tersebut baru satu sisi dari permasalahan yang terjadi pada program DAK bidang pendidikan lain. Sisi yang lain, coba anda tanyakan kepada siapa saja yang bersentuhan dengan program DAK, baik tingkat pusat, propinsi, kabupaten/kota, bahkan tingkat sekolah, bagaimana pengelolaan dan pemanfaatan dana ini di tingkat satuan pendidikan ? Apakah pembelanjaan harus dilaksanakan secara penunjukan langsung, pemilihan langsung, atau bahkan pelelangan umum ?
Banyak diantara yang pernah saya tanya secara langsung juga bingung dengan jawabannya. Sebagian besar menjawab dengan “sesuaikan dengan juklak” atau “sesuai Keppres No. 80”, atau “namanya juga swakelola, jadi dilaksanakan secara swakelola.”
Sewaktu saya mengejar dengan beberapa pertanyaan lanjutan mengenai prinsip-prinsip swakelola, sebagian besar masih belum paham terhadap hal tersebut.
Akhirnya, masih tersisa sebuah pertanyaan besar, yaitu “Apakah pemanfaatan DAK bidang pendidikan harus dilaksanakan melalui tata cara pengadaan yang membutuhkan penyedia barang/jasa atau menggunakan prosedur pembelian langsung ?”
Pada tulisan kali ini, saya mencoba untuk menyampaikan pendapat saya dalam bidang tersebut.
Baca selengkapnya ...